PENINGKATAN PRODUKSI
UDANG WINDU DENGAN KESTABILAN PLANKTON
BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU JEPARA
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
Abstrak
Daya dukung lingkungan budidaya merupakan faktor utama dalam pemeliharaan kultivan, terutamaa untuk pemelihraan udang windu. Perubahan lingkungan tambak yang drastis akan menyebabkan udang stres dan lemah serta memicu serangan penyakit. Untuk itu manipulasi lingkungan perlu dilakukan agar budidaya bisa berhasil secara optimal, diantaranya : Menjaga kestabilan lingkungan dengan mengoptimalkan kadar oksigen terlarut, menjaga kestabilan plankton (dominasi Chlorophyceae) Sistem tandon air sebagai biofilter perlu untuk pengolahan air sebelum digunakan untuk petak pemeliharaan Pemasukan air. Padat penebaran benih udang windu untuk 2 (dua) petak masing-masing 35 ekor/m2 dengan ukuran tebar PL-15.
Kestabilan kualitas air yang didapatkan selama pemeliharaan adalah media air dengan warna hijau kecoklatan yang didominasi oleh klas Chloropiceae hingga mencapai kepadatan 6,2 X 106 sel/lt. Parameter kualitas air lainnya selama pemeliharaan dalam kisaran yang normal. Produksi udang yang dihasilkan adalah SR 78,75% dengan size 56,8 ekor/kg atau produksi total masing-masing 970 kg (4.851 kg/Ha/MT).
Kata kunci: produksi, udang windu, plankton
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Budidaya tambak khususnya untuk air payau dengan komoditas udang windu (P. monodon) masih mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi komoditas pilihan para pembudidaya tambak. Permasalahan yang seringkali dihadapi pembudidaya adalah masalah penyakit terutama virus bercak putih (WSSV). Wabah penyakit virus ini mampu menghancurkan usaha budidaya. Akibatnya areal kawasan pantai khususnya pantai utara pulau Jawa dijumpai lahan tambak yang sebagian besar ditinggalkan merana dan tidak terurus (idle), terlebih tambak intensif. Pembudidaya udang windu di wilayah Ds. Kalianyar, Kec Bangil, Kabupaten Pasuruan Prop Jawa Timur dengan tidak kenal putus asa tetap mencoba bangkit untuk kembali menebar benih udang windu, namun hanya bertahan satu hingga dua bulan. Selebihnya terjadi kematian massal dan mereka hanya memanen sisa udang yang masih hidup di petakan tambak dengan hasil produksi yang sangat rendah. Oleh karena itu banyak petambak yang mengalihkan usaha budidayanya dari komoditas udang ke komoditas ikan yaitu bandeng dan nila dengan nilai pendapatan yang jauh lebih kecil.
Berdasar indentifikasi permasalahan, terdapat beberapa faktor penyebab ke gagalan berproduksi udang di tambak antara lain adalah kualitas benih yang rendah dan terinfeksi penyakit viral, lingkungan tempat budidaya yang terkontaminasi dan fluktuasi lingkungan yang ekstrim akibat eutrifikasi serta sistem tata air yang buruk antar para pembudidaya, sehingga memudahkan kontaminasi dan infeksi pada petakan tambak dalam satu kawasan (Supito, et al. 2006). Permasalahan yang sering terjadi di lapangan adalah munculnya serangan penyakit dimulai karena adanya perubahan warna air tambak yang disebabkan adanya kematian beberapa jenis plankton. Air tambak berubah warna dari kehijauan (greenist) menjadi coklat tua (dark brown). Kondisi udang terlihat abnormal 1 – 2 hari setelah terjadinya perubahan warna air dan kematian mulai muncul setelah 2 – 3 hari yang ditandai warna udang pucat (keruh), insang kotor dan muncul serangan virus bercak putih (WSSV). Menurut Adiwidjaya et.al (2003) dijelaskan bahwa filosofi dasar pertumbuhan adalah biota akan tumbuh dan berkembang biak secara normal apabila hidup pada lingkungan yang nyaman yaitu lingkungan sesuai kebutuhan biologis dan tidak terjadi perubahan yang drastis. Perubahan lingkungan akan menyebabkan terjadinya tekanan atau stres. Dalam hal ini kestabilan lingkungan tambak pembesaran merupakan salah satu kunci keberhasilan budidaya udang. Untuk peningkatan produksi udang windu perlu mempertahankan kestabilan lingkungan budidaya salah satunya adalah dengan menjaga kestabilan plankton
1.2. Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembudidaya terutama budidaya udang windu untuk mempertahankan kestabilan lingkungan media pemeliharaan dengan menjaga kestabilan plankton
1.3. Sasaran
Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah produksi udang windu 750 kg/Ha/MT dengan SR > 65 %, ABW: 25 g, ADG : 0,15 dan FCR 1 : 1,5.
II. BAHAN DAN METODE
2.1. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan pada kegiatan ini tercantum pada Tabel 1 dan 2 berikut.
Table 1. Bahan yang digunakan
No | Komponen Bahan | Volume | Satuan |
1. | Benih Udang Windu Berkualitas (>PL 12) | 140.000 | ekor |
2. | Pakan Udang Windu | 3.500 | kg |
3. | Ikan Segar | 150 | kg |
4. | Saponin | 100 | kg |
5. | Kapur | 3.000 | kg |
6. | Zeolit | 1.004 | kg |
7. | Pupuk Anorganik | 1 | paket |
8. | Feed Additive | 1 | paket |
9. | Inokulan Plankton | 20 | ton |
10. | Saponin | 100 | kg |
2.2. Waktu dan Tempat
Pemeliharaan udang ini dilakukan pada bulan Maret 2009 sampai dengan Agustus 2009. Lokasi kegiatan pada petak tambak dengan tanah dasar tambak seluas 2000 m2 sebanyak 2 petak dan 1 petak tandon dengan luas 5000 m2.
2.3. Metode
2.3.1. Persiapan tambak
Persiapan tambak dilakukan untuk memperbaiki wadah dan media pemeliharaan udang windu adalah sebagai berikut :
a. Pengeringan, dilakukan hingga tanah retak-retak untuk mempercepat proses penguraian bahan organik. Untuk memudahkan pengeringan dibuatkan parit atau caren bertujuan untuk menampung air rembesan dari luar sehingga tidak membasahi tanah pada pelataran dasar
b. Pemberantasan hama menggunakan saponin
c. Pengupasan dan pembalikan tanah dasar tambak dilakukan untuk membersihkan sisa-sasa bahan organik yang tidak bisa terbuang keluar oleh pompa air dan meningkatkan kualitas tanah dimana masih menunjukan nilai yang tidak layak dengan nilai parameter pada kedalaman 10 cm dari atas.
2.3.2 Persiapan air
Air dari sumber dimasukkan pada petak tandon sebelum digunakan untuk petak pembesaran udang. Petak tandon juga berfungsi sebagai petak biofilter di isi dengan ikan nila/ bandeng/ rumput laut dengan tujuan upaya pencegahan infeksi panyakit. Pemasukan air dari petak tandon ke petak pembesaran udang dengan menggunakan pompa. Untuk mencegah masuknya krustacea liar dan ikan lainya, dilakukan penyaringan air dengan saringan kasa mesh size 100 mm dan plankton-net ukuran T-45 dengan mesh size 300 – 400 mikron.
Penumbuhan plankton dilakukan dengan aplikasi pupuk anorganik Urea dan TSP dosis 0,5 ppm dan Silikat 0,2 – 0,5 ppm. Pupuk dilarutkan dalam air kemudian disebar merata dalam air tambak. Plankton Chlorella sp dimasukan ke tambak sebagai bibit awal (inokulan). Plankton akan tumbuh setelah 4-7 hari. Bila plankton belum tumbuh, dilakukan pemupukan susulan dengan dosis pupuk yang sama sampai plankton tumbuh yang diukur dengan kecerahan air minimal 50 cm. Penebaran probiotik komersial jenis Bacillus sp dilakukan dengan dosis 10 liter/Ha sebagai starter dalam petak pembesaran.Penebaran benih dapat dilakukan bila kondisi air tambak sudah siap dengan parameter air tambak sudah stabil, yaitu dengan kondisi pH 7,8 – 8,5, TOM < 100 ppm, alkalinitas 90 – 150 ppm, kecerahan maksimum 50 cm dengan warna plankton hijau kecoklatan, total bakteri vibrio < 102 atau sebanyak maksimum 10% dari total bakteri dan parameter lainnya dalam kondisi optimal.
2.3.3 Pemilihan dan Penebaran benih
Benih udang windu yang ditebar sesuai SNI benih udang windu (SNI 01-6143-2006). Sebelum benih ditebar dalam tambak, dilakukan pengamatan perbedaan suhu air dalam kantong plastik pengangkutan dan air tambak. Bila terjadi perbedaan suhu lebih dari 1o C, dilakukan aklimatisasi dengan cara mengapungkan kantong plastik dalam air tambak dalam kondisi kantong masih tertutup agar oksigen tidak lepas ke udara. Benih udang dalam kantong plastik akan bergerak aktif bila suhu sudah mendekati sama dengan air tambak atau aklimatisasi dianggap cukup bila benih sudah aktif berenang. Padat penebaran benih masing-masing petak pemeliharaan adalah 35 ekor/m2.
2.3.4. Pengelolaan pakan
Pengelolaan pakan meliputi ukuran, jumlah dan frekuensi pemberiannya disesuaikan dengan kondisi udang di tambak. Pakan tambahan mulai diberikan sejak penebaran benih dengan ukuran dan jumlahnya disesuaikan dengan ukuran udang yang diukur tiap 7 – 10 hari sekali. Pengamatan nafsu makan dilakukan setiap pemberian pakan melalui kontrol pada anco. Jumlah pakan di masing-masing anco adalah 0,8-1 % dari jumlah setiap pemberian. Jumlah anco/feeding tray antara 2 – 4 buah per petak. Pemberian feed additive berupa vitamin dan meneral secara periodik 1 – 2 minggu dilakukan melalui pakan untuk meningkatkan ketahanan udang dari serangan penyakit. Pemberian pakan segar juga dilakukan bila nafsu makan menurun dan diimbangi dengan pengelolaan air yang baik. Program pemberian pakan sebagaimana Tabel 3.
Tabel 3. Dosis, frekuensi pemberian dan waktu pengamatan pakan di anco
No | Umur (hari) | ABW (g) | Diet Pakan | Dosis pakan | Frekuensi | Dosis anco (%) | Kontrol anco (jam) |
1 | 1-15 | 0,2-2 | I (crumble) | 25-50 | 2 | - | 2,5-3 |
2 | 16-30 | 2-3 | I+II (Crumble) | 15-20 | 2-3 | - | 2,5 |
3 | 30-40 | 3-5,5 | II (Pellet) | 10-12 | 3-4 | 0,6 | 2-2,5 |
4 | 40-60 | 5,5-9 | II+ III (Pellet) | 7-10 | 3-4 | 0,8 | 2-2,5 |
5 | 60-80 | 9-14 | III | 5-7 | 4 | 1 | 1,5-2 |
6 | 80-100 | 14-20 | III+ IV (Pellet) | 3-5 | 4-5 | 1,2 | 1,5-2 |
7 | 100-120 | 20-27 | IV (Pellet) | 3-5 | 5 | 1,4 | 1-1,5 |
Angka Romawi I – III adalah penomoran untuk “Diet Pakan” (Diet I =Starter, Diet II = Grower, Diet III = Finisher). Angka 1 s/d 6 adalah merupakan pecahan ukuran pakan dari pihak pabrik dengan istilah “Nomor Pakan. (Sumber : Anonim, 2007).
2.3.5. Pengelolaan air
Pengelolaan air yang dilakukan meliputi penggantian air, pengukuran kualitas air serta aplikasi pupuk dan sumber karbon untuk memperbaiki kualitas air. Pengamatan parameter kualitas air meliputi, DO, salinitas, suhu, pH dan .kecerahan
2.3.6. Pengamatan pertumbuhan dan kondisi udang
Pengamatan kondisi kesehatan udang meliputi gerakan, warna, kondisi usus dan nafsu makan yang dilakukan setiap hari dengan mengamati udang dari anco. Pengamatan dan pengukuran laju pertumbuhan udang dan perhitungan pakan dilakukan setiap 10 hari sekali setelah udang berumur 30 hari. Pengambilan sampling udang dengan menggunakan jala tebar.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pertumbuhan udang
Laju pertumbuhan mulai umur 45 hari cenderung meningkat hingga umur pemeliharaan 90 hari. yaitu 0,18-0,25 g/ekor/hari. Kondisi lingkungan yang stabil dengan penggunaan sistem aerasi yang efisien dan optimal mampu menjaga kestabilan pertumbuhan pakan alami terutama phytoplankton dari kelompok Chlorophyceae sehingga tercipta media hidup yang nyaman bagi udang windu yang dipelihara. Phytoplankton dalam perairan merupakan produsen primer yang mampu menyerap hasil perombakan bahan organik dalam bentuk nutrient (unsur hara) dan menghasilkan oksigen melalui proses fotosintesa.
Pertumbuhan udang mulai menurun setelah dipelihara selama 100 hari sampai panen, hal ini disebabkan perubahan fluktuasi beberapa parameter lingkungan terutama suhu ≤ 26,5oC pada siang hari hal ini disebabkan adanya musim angin timur atau selatan yang menyebabkan suhu perairan menjadi rendah sehingga berdampak pada nafsu makan menurun, pertumbuhan tidak normal dan banyak energi (kalori) yang hilang. Disamping itu, juga parameter tanah lainnya mengalami penurunan seperti redoks potensial berkisar antara minus 300 - 400 m.V dan bahan organik tanah >20%.
3.2. Sintasan udang
Sintasan atau kelangsungan hidup (Survival Rate) udang yang dihasilkan seperti pada Tabel 4. Kematian tertinggi diduga terjadi pada awal pemeliharaan karena proses adaptasi penebaran dan pertumbuhan tanaman air (lumut) yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan pertumbuhan dan pendugaan populasi selama pemeliharan tidak menunjukkan penurunan populasi yang drastis. Estimasi penggunaan pakan masih cukup normal yang dapat dilihat dari FCR pakan yaitu 1,9.
Udang windu yang dihasilkan berpigmentasi coklat kehijauan dan tidak mengandung antibiotik berbahaya. Hal ini diperoleh dari data yang dibuat oleh pihak pembeli yang berskala Internasional (eksportir). Persentase udang yang afkir (bukan termasuk under size atau BS) berkisar dibawah 2%.
Tabel 4. Data produksi
Uraian | Petak pemeliharaan | |
PETAK A | PETAK B | |
Penebaran (ekor) | 70.000 | 70.000 |
Umur (hari) | 139 | 139 |
Berat Udang rataan (g/e) | 17,8 | 17,4 |
Sintasan (%) | 77,80 | 79,70 |
Biomassa (kg) | 969,4 | 970,7 |
FCR | 1,95 | 1,85 |
3.3. Kualitas lingkungan
3.3.1. Parameter Kualitas Air
a. Kemelimpahan dan dominasi plankton
Plankton merupakan produsen primer yang mampu menyerap nutrien hasil degradasi bahan organik oleh mikroba serta dapat menghasilkan oksigen. Plankton berfungsi sebagai penyeimbang kualitas air (water stability). Keberadaan planton yang stabil dalam air akan berpengaruh positif terhadap kualitas media pemeliharaan. Hasil pengamatan kemelimpahan plankton menunjukan peningkatan jumlah setelah umur 45 hari. Ikan dan udang dapat mengakumulasi nutrien dari pakan yang diberikan berkisar 5 – 40%. Dari hasil pengamatan jenis plankton dari mulai persiapan hingga pemeliharaan pada kedua petak tambak didominasi merata oleh kelompok Bacillariaceae, Chlorophyceae dan Cyanophyceae antara 20 hingga 40. Sehingga terlihat warna air menjadi lebih hijau yang disebabkan oleh dominasi jenis plankton Chlorophycea hingga masa panen dengan warna air hijau.
b. Salinitas
Salinitas air tambak pada saat penebaran adalah 20 - 21 ppt, selanjutnya salinitas naik karena tidak ada hujan hingga 25 – 27 ppt dan kemudian meningkat kembali mencapai 36 – 37 ppt pada saat menjelang panen (musim kemarau). Namun demikian perubahan harian salinitas tidak lebih dari 3 ppt sehingga masih cukup layak untuk pertumbuhan udang. Diduga salinitas air tambak pada kajian ini berpengaruh terhadap dominasi jenis plankton, yaitu dominasi plankton ke arah jenis Chlorophyceae setelah salinitas naik menjadi 25 ppt hingga 36 ppt.
c. Suhu (Temperatur)
Hasil pengamatan suhu rata-rata harian selama pemeliharaan berkisar antara 27,1 – 30,8o C. Suhu air tertinggi pada awal penebaran yaitu 29,8 – 30,84o C. Sedangkan suhu terendah diketahui pada akhir pemeliharaan karena pada musim kemarau (mediding) yaitu 27,1o C (petak I-5) dan 27,2o C (petak I-6). Suhu terendah (terlalu rendah pada musim Angin Timur atau Selatan : < 26,50 C pada bulan Juni-September). Dampak dari suhu rendah ini adalah : nafsu makan menurun (mencapai > 30 %) dan pertumbuhan tidak normal. Solusinya dengan cara pengaturan kedalaman air dan mengatur strategi Musim Tanam yang tepat dan pengendalian optimasi penggantian air harian. Temperatur berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme terutama laju komsumsi pakan. Oleh karena itu, pemberian pakan disesuaikan dengan laju komsumsi oleh udang dengan cara mengontrol pakan pada anco. Jumlah pakan dianco adalah 0,6 – 1% dari jumlah total pemeberian dan lama pengamatan 1 - 2 jam. Bila pakan di anco tidak habis, maka jumlah pakan yang diberikan segera dikurangi hingga 20 – 40%. Sebaliknya bila pakan habis sebelum waktu pengamatan, maka jumlah pemnberian pakan ditambak sekitar 20%. Dengan cara ini dapat menghindari kelebihan pakan yang akan menyebabkan peningkatan kotoran pada dasar tambak.
d. pH
Nilai pH air akan mempengaruhi proses kimia dan hasil serta akan berdampak pada kehidupan dan pertumbuhan udang. Hasil pengamatan pH air selama pemeliharaan menunjukan nilai yang cukup stabil, yaitu berkisar antara 7,3 – 8,8 selama pemeliharaan dengan fluktuasi harian pada pagi dan sore antara 0,2 – 0,5. Kestabilan nilai pH diduga karena buffer terhadap nilai pH yang dapat diukur dari alkalinitas cukup tinggi serta pertumbuhan plankton dalam air yang baik. Plankton akan mampu menyerap CO2 pada proses fotosintesa sehingga akan mampu membuat stabil nilai pH air (Boyd, 1995). Ada kencederungan dengan peranan plankton ini akan menyebabkan pH air cenderung kearah basa namun demikian fluktuasi hariannya rendah.
3.3.2. Kualitas tanah
Kualitas tanah yang diukur dengan nilai redok potensial. Pada saat persiapan tambak nilai redok potensial berkisar antara -239 s/d -356 m.V. Nilai Redoks Potensial dasar tambak pada umur pemeliharaan 15 hari cenderung menurun sampai umur pemeliharaan 60 hari yaitu -218 m.V hingga -430 m.V, kemudian pada akhir pemeliharaan redoks cenderung lebih stabil pada kisaran -300 hingga -330 m.V. Kondisi ini dapat diduga telah terjadi proses perombakan bahan organik di dasar tambak oleh bakteri pengurai serta kalarutan oksigen yang tinggi menyebabkan nilai redoks potensial tidak terus menurun. Dihubungkan dengan kondisi kemelimpahan dan dominasi plankton yang stabil oleh kelompok Chlorophyceae menunjukan ketersediaan unsur hara yang tinggi.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan kondisi udang dan kondisi kualitas lingkungan pada kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa :
- Pertumbuhan udang mencapai 17,4 g/ekor dan 17,8 g/ekor; dengan laju pertumbuhan rata-rata 0.124 g/hari dan 0,27 g/hari dan tingkat kelangsungan hidup 78,75 %. Kondisi udang windu yang dipanen baik dilihat dari organoleptik dan tidak mengandung bahan antibiotik yang dilarang.
- Kestabilan parameter air dapat menjaga dominasi plankton dari kelompok Chlorophyceae serta dapat menekan kelompok plankton yang berbahaya walaupun kondisi redoks potensial dan bahan organik tanah maupun air yang diambang batas.
4.2. Saran
Berdasarkan hasil kegiatan tersebut, disarankan sebagai berikut :
- Perlu dilakukan kajian tentang pengaruh lingkungan media air dengan lambatnya pertumbuhan udang windu.
- Untuk penggunaan benur menggunakan benur windu sesuai SNI 01-6143-2006 agar di peroleh hasil yang optimal
V. DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjaya D., Erik, Sutikno. dan Dwi Sulistinarto. 2003. Produktifitas Pada Budidaya Udang Windu Sistim Tertutup: Peluang Usaha Untuk Mencari Nilai Tambah Bagi Petambak. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Pertemuan Pra Lintas UPT Budidaya Air Payau dan Laut, Ditjen. Perikanan Budidaya, Jepara September 2003. 39 halaman.
Anonim, 2007. Penerapan Best Management Practices (BMP pada Budidaya Udang Windu (P. monodon Fab.) Intensif. Juknis. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara 68 hal.
Boyd, C.E., 1995. Bottom soils, sediment, and pond Aquaculture. Department of Fisheries and Allied Aquaculture. Auburn University. Alabama. 348 hal.
Dirjen Perikanan Budidaya, 2008. SNI Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta